Selasa, 09 Mei 2017

Ainiyatul Farihah

TUGAS 1: REFLEKSI MULTIMODA






Identitas Buku
Judul                           : Reach Your Dreams
Penulis                        : Wirda Mansur
Penerbit                      : Gagas Media Jakarta
Tahun terbit                : 2016
Jumlah Halaman         : 208 halaman
ISBN                           : 978-979-780-873-0


Catatan tentang Kredibiltas Buku
Buku ini ditulis oleh Wirda Salamah Ulya atau lebih akrab disapa Wirda Mansur, putri pertama Ustadz Yusuf Mansur. Saat usianya 15 tahun, Wirda telah berhasil menghafal 30 juz al-Qur’an. Bahkan di akhir tahun 2015, Wirda terpilih sebagai duta Al-Qur’an dan berkesempatan mempelajari serta menyiarkan Al-Qur’an di negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Wirda Mansur juga pernah menghafal al-Qur’an di depan Imam Masjidil Haram, Syaikh Abdur Rahman. Buku Reach Your Dreams ini diterbitkan oleh penerbit Gagas Media Jakarta yang sejak awal berdirinya tanggal 4 Juli 2003 hingga tahun 2016, telah menerbitkan sedikitnya 800 buku dengan segmentasi popular untuk kalangan remaja sehingga tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya.

Ikhtisar
Buku ini berkisah tentang perjalanan dan perjuangan Wirda dalam meraih cita-citanya dengan jalan Al-Qur’an. Rela keluar dari zona zaman, meninggalkan keluarga dan merantau jauh ke negeri orang adalah hal berat yang tidak mudah dilakukan banyak gadis usia belasan pada umumnya. Kisah-kisahnya mengarungi hidup di New York, Washington DC, dan kota-kota di dunia membuat siapapun yang membaca buku ini terpana. Wirda membuktikan janji Allah bahwa dengan Al-Qur’an segala sesuatu menjadi mudah dan mungkin.
Pada bagian pertama buku ini, Wirda berkisah tentang dirinya yang tertinggal pesawat di bandara Jeddah ketika perjalanan transit dari New York ke Indonesia. Membayangkan gadis kecil nan imut yang tertinggal seorang diri di negeri jauh dan tidak mengenal siapapun membuat pembaca semakin percaya atas kekuasaan Allah atas orang yang selalu membawa nama-Nya dimanapun dan kapanpun dengan keajaiban dan kemudahan yang Wirda dapat sehingga dapat melanjutkan perjalanan kembali ke Indonesia.
Wirda juga menulis tentang catatan mimpi-mimpinya di masa depan, bagaimana keinginannya untuk mengelilingi dunia, memiliki universitas dan sekolah khusus Al-Qur’an bertaraf internasional sendiri, serta mimpi-mimpi hebat lain yang tertuang dalam buku pribadinya yang ia beri nama “It’s All My Dreams”. Demikianlah cara Wirda, menuliskan mimpi-mimpinya kemudian memintanya kepada Allah SWT. selaku Dzat yang Maha segalanya. Wirda mengungkapkan bahwa tidak aada kata terlambat dalam hal mempelajari dan menghafal Al-Qur’an, yang ada adalah diri kita yang kurang bersungguh-sungguh dan malas untuk menaati perintah-Nya.
Dengan bahasa khas anak muda yang asyik tapi menyentuh, Wirda mengajak pembaca untuk selalu berprasangka baik kepada Allah, meminta hanya kepada-Nya, maka Allah juga akan memberi yang terbaik untuk hamba-Nya. Tentunya disertai dengan ikhtiar dan ketawakkalan yang penuh.

Nilai-Nilai
Buku pertama Wirda Mansur yang berjudul Reach Your Dreams berisi kisah inspiratif Wirda Mansur yang dapat meraih cita-citanya dan keliling dunia dengan jalan Al-Qur’an. Setiap bagian dalam buku ini menunjukkan kemuliaan Al-Qur’an yang dapat digunakan sebagai wasilah untuk memenuhi hajat manusia tidak hanya yang bersifat ukhrowi (akhirat) saja, tapi juga kebutuhan duniawi.
Dengan membaca buku ini, kita akan belajar hakikat berikhtiar, sungguh-sungguh, tawakkal serta tanggungjawab terhadap pilihan. Bahwa pertolongan Allah itu sangat dekat dengan hamba-Nya yang setiap saat selalu berusaha mendekat. Wirda telah membuktikan, meski tidak melalui jalur akademik, ia tetap bisa melanjutkan sekolah di luar negeri secara gratis dengan barokah Al-Qur’an. Buku ini juga mengajarkan tentang usia tidak pernah menjadi penghalang untuk belajar apalagi menghafal Al-Qur’an, dengan kemauan keras, usaha keras, dan tentu saja mengharap ridho Allah, insha Allah semua akan mungkin.

Refleksi
Akan banyak inspirasi dan motivasi yang didapat setelah membaca buku ini. Terlebih tentang nilai ikhtiar, tawakkal, serta tanggung jawab terhadap pilihan. Buku ini seakan menampar saya, betapa kurang bersyukurnya saya atas nikmat umur dan kesempatan yang telah Allah berikan selama ini. Di usianya yang ke-15 tahun, Wirda telah hafal 30 juz Al-Qur’an dan dinobatkan sebagai duta Al-Qur’an. Sedangkan saya, menginjak usia 19 tahun saat ini, Surat Al-Kahfi saja masih mbulet. Tabungan hafalan juz ‘amma dan beberapa surat pendek sering lupa karena malas muroja’ah. Betapa kurang bermanfaatnya hidup kita di sunia jika tidak dapat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.

Artikel Reflektif
Kalau Tidak Sekarang, Kapan Lagi?
Ainiyatul Farihah

Disadari atau tidak, sebagian besar dari kita sering kali menyia-nyiakan apa yang kita punya. Mulai dari harta benda, kecerdasan, kesempatan, dan terutama waktu. Padahal kita tahu, kesempatan kita untuk hidup di dunia ini hanya diberi satu kali, tidak lebih. Berapa waktu yang sudah kita buang untuk berselancar di beranda facebook, nonton televisi, dan kegiatan kurang bermanfaat lain? Sampai saat ini sudah berapa juz yang kita hafal? Berapa kali sehari kita moroja’ah hafalan? Lebih lama mana waktu kita untuk membaca status atau membaca Al-Qur’an?
Belajar dan menghafal Al-Qur’an selama ini identik dengan aktifitas para santri yang sedang bergelut dengan pelajaran ilmu-ilmu keislaman di pondok pesantren saja, sementara para pelajar dan mahasiswa lebih sering dikaitkan dengan aktifitas belajar ilmu-ilmu umum dan teknologi modern. Mungkin terbilang langka mahasiswa atau dosen yang hafal Al-Qur’an.
Padahal jika mau berkaca pada sejarah ilmuan-ilmuan muslim yang fenomenal dalam bidang filsafat dan sains pada abad pertengahan Islam, kita pasti akan mendapatkan segudang contoh orang-orang yang mumpuni di bidangnya, dan mereka rata-rata hafal serta menguasai Al-Qur’an. Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ar-Razi, dan sebagainya, mereka adalah sosok ilmuan yang komplit. Rumus-rumus fisika, kimia, dan astronomi mereka kuasai. Ilmu tafsir, hadis, fiqih juga dipahami secara mendalam. Apa rahasianya? Ternyata saat itu memang ada tradisi yang kuat bahwa hafal dan faham Al-Qur’an itu merupakan harga mati (tidak boleh ditawar) sebelum mereka beranjak untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya.
Jika saat ini kita adalah seorang mahasiswa, pasti usia kita masih dalam kisaran 18-24 tahun. Usia tersebut masuk dalam kategori usia subur dan produktif (golden age) dalam mencari ilmu, termasuk menghafal. Terkait dengan usia ini, Syaikh Alwi Al-Haddad dalam bukunya Sabilul Iddikar mengatakan yang artinya “ketika usia remaja menginjak 20 tahun dan tidak memiliki kebanggan, maka tidak akan muncul kebanggaan lagi. Ketika engkau tidak mampu menguasai masa remaja, maka engkau tidak bisa menguasainya setelah itu selama hidupmu”. (sumber: www.nurani.fortheholyqur’anmemorization.org)
Dengan kata lain, “hari ini” bagi seorang remaja adalah miniatur kesuksesan di masa yang akan datang. Bila “hari ini” dalam diri seorang remaja telah tumbuh benih-benih kompetensi, integritas, kepemimpinan, dan etos kerja tinggi, kemungkinan besar 10 atau 15 tahun yang akan datang, sudah menjadi orang sukses sesuai dengan yang dia kerjakan sekarang.
Selain itu, mensyukuri nikmat dan anugerah Allah adalah sebuah keniscayaan manusia sebagai hamba Allah. Allah memberikan anugerah umur kepada hamba-Nya semata untuk berlomba mencari ridlo-Nya. Rasa syukur tersebut semestinya dimanifestasikan secara konkrit dalam bentuk upaya maksimal untuk mempelajari, mendalami, serta menghafal kalam Allah secara tuntas.
Belum lama ini, dalam situs youtube terpampang seorang anak balita yang membaca Al-Qur’an secara bil ghaib. Dialah Abdurrahman Farih dari Al-Jazair yang saat video itu diambil usianya baru 3 tahun.  Orang tua mana yang tidak bangga memiliki buah hati sesholih dan secerdas itu? Belakangan, stasiun televisi Indonesia juga mulai memperlihatkan kepeduliannya tentang masalaha agama ini. Meski program Hafidz Indonesia hanya ada saat bulan romadhon saja, setidaknya hal tersebut sudah menjadi cambuk bagi kita yang hingga saat ini belum ada niat untuk menghafal Al-Qur’an.
Begitu banyak keutaman yang akan diperoleh bagi seorang hafidz/hafidzah. Diantaranya jasadnya tidak akan habis dimakan tanah saat sudah meninggal kelak. Waktu kita hidup di dunia kedang menyerupai fatamorgana. Dari jauh kelihatan indah, seakan kita masih memiliki kesempatan 1000 tahun yang tiap detiknya bisa diisi dengan 1000 aktifitas luar biasa. Namun ternyata waktu yang kita miliki begitu singkat dan sesak dengan berbagai kesibukan harian yang teknis.
Adakah yang tahu kapan kita dipanggil untuk menghadap-Nya? Sudah cukupkah bekal kita? Kapan kita akan mulai menghafal Al-Qur’an? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?


Puisi Reflektif
Apa yang kita cari?
Ainiyatul Farihah
Dunia adalah fana
Sedang akhirat itu nyata
Apa yang kita cari sebenarnya?
Tidak ada
Semua fatamorgama
Pernahkan kita merasa ajal sudah dekat
Lalu semua yang gemerlap akan sirna dalam sekelebat
Bukankah Allah sudah terlalu banyak memberi kemurahan
Kita saja yang tidak pernah memanfaatkan kesempatan
Duhai hati
Jangan kau mati sebelum aku mati
Jadilah pengingat saat aku lalai
Penegur saat diri mulai abai
Apa yang kita cari sebenarnya?
Ketenaran?
Lupakah jika yang kita punya sekarang hanya titipan?
Duhai diri
Apa yang kita cari sebenarnya?

___________
Senja yang membawaku kembali
28 April 2017





TUGAS 2: ANALISIS STRUKTUR ISI TEKS CERITA IMAJINATIF


Teks Cerita Imajinatif (1)

Kisah Sedih Buku Tak Bersampul


 


Buku berwarna biru-lusuh, berjudul Bahasa Indonesia itu, tergeletak di atas meja belajar Andi. Di sampingnya, ada buku Matematika, IPA, dan IPS. Di antara buku-buku itu, buku Bahasa Indonesia-lah yang paling kotor. Yang paling lusuh. Sebabnya, buku Bahasa Indonesia jadi satu-satunya buku yang kovernya tidak bersampul. Buku yang dibeli dari toko buku bekas. Sedangkan buku-buku lainnya, bersampul plastik: indah dan bersih.


“Hai, teman-teman,

kalian tahu tidak, kenapa buku Bahasa Indonesai tidak bersampul?” kata buku Matematika sombong.


Buku IPA dan IPS menggelengkan kepala. Sedangkan buku Bahasa Indonesia diam tertunduk sedih.


“Karena ia satu-satunya buku yang terjelek di antara kita,” kata buku Matematika mengejek.


“Betul juga itu,” tambah buku IPA, “bukankah di antara kita buku yang dibelinya dari toko loak adalah buku Bahasa Indonesia. Sedangkan kita dibeli dari toko buku bergengsi di kota ini. Ya, wajarlah kita disampuli, sedangkan dia tidak, lusuh lagi,” buku IPA menunjuk ke arah buku Bahasa Indonesia.


Buku Bahasa Indonesia semakin tertunduk diam. Sedih. Ia tidak menyangka kalau kawan-kawannya tega menghinanya.


Kreeeet, pintu kamar dibuka. Andi masuk menuju meja belajarnya. Diperhatikannya keempat buku yang berserakan di atas meja. Andi pun membereskannya. Menumpuk buku-buku tersebut. Dan kembali pergi ke luar kamar.


 Horeee. Aku ditempatkan yang paling atas,” teriak buku Matematika.


“Aku di tempat kedua,” teriak buku IPA.


“Dan aku di tempat ketiga,” sambut buku IPS.


Sedangkan buku Bahasa Indonesia diam. Kover bukunya yang lusuh dan kotor terhimpit. Buku Bahasa Indonesia menangis sedih dalam hati.


Selang beberapa saat. Ketika buku Matematika sedang tertawa membangga-banggakan dirinya. Tiba-tiba seekor cicak yang ada di langit kamar membuang kotorannya. Dan, plukkk! Kotoran cicak jatuh menimpa kover buku Matematika. Seketika itu, buku Matematika diam. Malu dan jijik dengan kotoran itu yang baunya menyengat.


“Apa yang terjadi?” seru buku Bahasa Indonesia.


“Buku Matematika kejatuhan kotoran cicak,” bisik buku IPS pada buku Bahasa Indonesia sambil menahan tawa.


 Mendapati buku Matematika-nya ada kotoran cicak, Andi mengambil buku tersebut. Andi melepas sampul plastik yang terkena kotoran. Membuangnya ke tempat sampah. Andi meletakkan buku Matematika-nya di sebelah buku Bahasa Indonesia. Kini buku Matematika itu tak bersampul lagi.


“Maafkan aku,” kata buku Matematika pada buku bahassa Indonesia.


Buku Bahasa Indonesia tersenyum ramah. Tanda menerima permintaan maaf buku Matematika. Keduanya pun kemudian tersenyum. Kemudian, disambut senyum buku IPA dan IPS. Serempak keempatnya tersenyum. Kompak. Senyum yang indah sekali.


Sejak saat itu, ejek mengejek di antara buku pelajaran yang dimiliki Andi tidak ada lagi. Setiap buku berteman akrab, dan saling bekerja untuk bisa menjadikan Andi siswa yang pintar.


Sungguh buku-buku yang indah. Sekalipun ada yang bersampul dan tidak bersampul, mereka selalu kompak tersenyum lucu. Karena dari dalam buku itu tersimpan segudang ilmu; “Hidup buku! Hidup ilmu!” seru semua buku pelajaran yang dimiliki Andi. Serentak. Kompak.


Ingat, teman!


Jangan suka mengejek dan menganggap rendah teman. Karena seseorang yang diejek bisa saja, sebenarnya, lebih hebat dari yang mengejek, jika demikian, rasanya malu, kan. Bukankah saling menghargai lebih indah dari saking mengejek. Bisa membuat persahabatan tambah semakin hebat dan kompak.



Analisis struktur isi teks


Orientasi

Buku berwarna biru-lusuh, berjudul Bahasa Indonesia itu, tergeletak di atas meja belajar Andi. Di sampingnya, ada buku Matematika, IPA, dan IPS. Di antara buku-buku itu, buku Bahasa Indonesia-lah yang paling kotor. Yang paling lusuh. Sebabnya, buku Bahasa Indonesia jadi satu-satunya buku yang kovernya tidak bersampul. Buku yang dibeli dari toko buku bekas. Sedangkan buku-buku lainnya, bersampul plastik: indah dan bersih.



Komplikasi

“Hai, teman-teman, kalian tahu tidak, kenapa buku Bahasa Indonesai tidak bersampul?” kata buku Matematika sombong.

Buku IPA dan IPS menggelengkan kepala. Sedangkan buku Bahasa Indonesia diam tertunduk sedih.

“Karena ia satu-satunya buku yang terjelek di antara kita,” kata buku Matematika mengejek.

“Betul juga itu,” tambah buku IPA, “bukankah di antara kita buku yang dibelinya dari toko loak adalah buku Bahasa Indonesia. Sedangkan kita dibeli dari toko buku bergengsi di kota ini. Ya, wajarlah kita disampuli, sedangkan dia tidak, lusuh lagi,” buku IPA menunjuk ke arah buku Bahasa Indonesia.

Buku Bahasa Indonesia semakin tertunduk diam. Sedih. Ia tidak menyangka kalau kawan-kawannya tega menghinanya.

Kreeeet, pintu kamar dibuka. Andi masuk menuju meja belajarnya. Diperhatikannya keempat buku yang berserakan di atas meja. Andi pun membereskannya. Menumpuk buku-buku tersebut. Dan kembali pergi ke luar kamar.

 Horeee. Aku ditempatkan yang paling atas,” teriak buku Matematika.

“Aku di tempat kedua,” teriak buku IPA.

“Dan aku di tempat ketiga,” sambut buku IPS.

Sedangkan buku Bahasa Indonesia diam. Kover bukunya yang lusuh dan kotor terhimpit. Buku Bahasa Indonesia menangis sedih dalam hati.


Resolusi

Mendapati buku Matematika-nya ada kotoran cicak, Andi mengambil buku tersebut. Andi melepas sampul plastik yang terkena kotoran. Membuangnya ke tempat sampah. Andi meletakkan buku Matematika-nya di sebelah buku Bahasa Indonesia. Kini buku Matematika itu tak bersampul lagi.

“Maafkan aku,” kata buku Matematika pada buku bahassa Indonesia.

Buku Bahasa Indonesia tersenyum ramah. Tanda menerima permintaan maaf buku Matematika. Keduanya pun kemudian tersenyum. Kemudian, disambut senyum buku IPA dan IPS. Serempak keempatnya tersenyum. Kompak. Senyum yang indah sekali.


Koda

Jangan suka mengejek dan menganggap rendah teman. Karena seseorang yang diejek bisa saja, sebenarnya, lebih hebat dari yang mengejek, jika demikian, rasanya malu, kan. Bukankah saling menghargai lebih indah dari saking mengejek. Bisa membuat persahabatan tambah semakin hebat dan kompak.




Analisis Ciri Bahasa


Menggunakan kata emotif dan bersifat imajinasi


Dalam cerita di atas, disebutkan kisah tentang buku-buku pelajaran yang bisa berbicara. Hal ini tentu saja tidak terjadi dalam dunia nyata.


 


Menggunakan kata yang bermakna konotatif


Cerita di atas menyiratkan pesan kepada pembaca, bahwa buku adalah sumber ilmu. Tidak seharusnya manusia membedakan perlakuan terhadap buku berdasarkan tempat membelinya atau ada-tidaknya sampul buku. Pesan tersebut tidak dijelaskan langsung oleh si penulis, melainkan disampaikan melalui dialog yang dilakukan antar buku pelajaran.



Teks Cerita Imajnatif (2)

PENGORBANAN SANG KAKAK SIPUT

Salsa Devara



Terdapat sebuah rumah kecil dari pepohonan. Rumah itu milik keluarga Siput. Ada Popo, Mami, Flo, dan Dyo. Popo dan Mami adalah orang tua Flo dan Dyo. Rumah kecil ini terletak di hutan. Bergabung dengan rumah-rumah hewan lain. Tentang wilayah, jelas wilayah dibedakan karena mengingat jenis hewan itu bervariasi. Wilayah untuk hewan buas dipisahkan dan dibatasi sangat jauh dari hewan-hewan lunak yang mungkin akan menjadi buruannya. Sedangkan hewan herbivora, berdekatan dengan wilayah hewan lunak. Hewan lunak seperti siput, semut, keong, kura-kura, dll.

Flo adalah anak sulung. Maka Flo-lah yang harus sering mengalah. Sedangkan Dyo, dia adalah siput bungsu. Sifatnya masih kekanakan dan sering tak mau mengalah, dan pastinya Dyo selalu dipercaya dan dibela oleh siput Popo dan Mami. Suatu pagi yang cerah. Terlihat Siput Flo sedang membantu ibunya, siput Mami. Flo membantu untuk menyusun makanan hasil mencarinya saat subuh tadi.

“Flo, bangunkan Dyo. Suruh dia ikut membantu mencari makanan untuk nanti siang.” perintah Mami pada Flo. Flo tak berkata apa-apa, dia langsung saja menghampiri Dyo.

“Dyo. Bangun! Ibu menyuruhmu! Ayo!” ucap Flo membangunkan Dyo. Tapi Dyo tetap pura-pura tak mendengar. Karena sebenarnya Flo tau bahwa Dyo sudah terbangun, makanya Flo terus mendesak.

“Dyo! Cepat!”

“Apa kau tak mau sarapan pagi?”

“Siput Ibu Mami dan Aku tadi sudah mencari makanan untuk kita semua”

“Ayo Dyo bangun! Aku tau kau sudah bangun!”

“Ibu dan Ayah Popo sudah menunggu! Cepatlah!”

Flo terus mengoceh agar Dyo mau menuruti perintah ibunya yang tadi diamanatkan padanya. Flo tak menyerah begitu saja apabila hanya diabaikan.

“Sudahlah! Siapa kau mengaturku!” bentak Dyo. Memang Flo dan Dyo tak pernah akur dan rukun. Dyo merasa dirinya tersaingi oleh Flo.

“Aku hanya menyampaikan amanat Ibu Mami Dyo. Ayolah bangun. Dasar pemalas sekali!” cibir Flo. Cibiran itu hanya bercanda, tapi sepertinya Dyo menganggap serius. Ia pergi meninggalkan Flo dengan mencoba sekuat tenaga agar ia bisa berjalan secara cepat. Seharusnya Dyo menyadari. Dia adalah seekor siput. Seekor siput memang sudah ditakdirkan dan memang sudah kodratnya dia itu lambat. Flo hanya diam, dan tak lama kemudian ia menyusul Dyo dengan berjalan tenang. Flo mengerti dan sudah sangat paham akan sifat Dyo yang memang menyebalkan dan terkadang memancing emosi.

Siput Popo, Mami, Dyo dan Flo sudah berkumpul. Mereka sudah berunding dan sepakat untuk mencari makanan masing-masing baru nanti dikumpulkan dan dimakan bersama. Mereka mulai mencari makanan nanti pada saat hari mulai cerah, sekitar pukul 9 pagi.

Siput Popo dan Mami sudah mempersiapkan peralatan untuk mencari makanan. Flo sedang menyiapkan beberapa kantung untuk mewadahi makanan yang ia dapat nanti. Sedangkan, Dyo dia hanya diam bermalas-malasan di luar jauh dari rumah. Yang lain sedang sibuk bersiap karena hari telah mulai menjelang pukul 9, tapi Dyo belum kembali ke rumah. Padahal Dyo ditugaskan mencari makanan bersama Flo. Sedari tadi Flo menunggu Dyo.

“Kemana Dyo? Apa dia belum kembali Flo?” tanya siput Mami pada Flo yang sedari tadi sibuk melihat lihat sekitar seperti mencari sesuatu. Ya memang Flo sedang mencari Dyo.

“Belum siput Mami.” jawab Flo.

“Ya sudah, siput Popo dan Mami pergi terlebih dahulu? Tak apa?” tanya siput Popo. Popo lalu melirik Mami dan Flo bergantian.

“Ya. Tak apa. Aku akan menunggu Dyo, kasihan dia nanti mencari-cari. Sebaiknya, ibu siput Mami dan ayah siput Popo terlebih dahulu pergi mencari makanan, nanti hari terlanjur siang. Aku tak apa” jawab Flo seadanya. Ya memang, Flo dewasa dan bijak. Flo memikirkan dan mementingkan orang lain yang belum tentu orang itu mementingkan dirinya juga.

“Ya sudah. Hati-hati disini,” ucap siput Mami. Lalu siput Mami dan siput Popo segera berangkat membawa peralatan dan perlengkapan yang sudah disiapkan. Flo hanya membalas dengan senyuman. Flo tetap diam menunggu. Kemana Dyo? Itu yang Flo pikirkan sedari tadi.

Setelah lama Flo menunggu akhirnya Dyo datang. Sekarang sudah pukul 9 pagi lebih 15 menit. Itu tandanya Flo dan Dyo sudah tidak displin dalam melaksanakan tugas yang mereka dapat. Pastinya Ibu siput Mami dan Ayah siput Popo sudah banyak mendapat makanan. Sedangkan Flo dan Dyo belum satu pun. Flo segera mendekati Dyo dan bertanya.

“Kau dari mana Dyo? Aku sedari tadi menunggu” tanya Flo dengan raut wajah kesal.

“Aku? Aku bermain dengan para monyet dan kura-kura” jawab Dyo santai tanpa memedulikan raut wajah kesal kakaknya

“Ayolah! Kita bergegas mencari makanan. Kau tak mau kelaparan bukan saat siang nanti?” tanya sekaligus ajak Flo. Dyo mendengus kesal

“Kau saja! Aku tak mau!” tolak Dyo sambil akan melangkah pergi lagi.

“Jangan menghindar dari tugas Dyo! Apa kau mau Ibu Mami menghukumu agar kau mencari makan tengah malam di hutan ini sendiri? Hiduplah dengan displin Dyo! Ayo ikut kakak!” Flo terus memaksa. Bagaimana pun tugas tetaplah tugas. Bukannya apabila tak mengerjakan tugas akan ada sanksi? Flo menganggap bahwa tugas adalah suatu tanggung jawab juga. Oleh karena itu tugas itu harus dikerjakan.

“Iya. Aku ikut! Kau menyebalkan” ucap Dyo pasrah. Bagaimana pun ucapan kakak nya –Flo- ada benarnya juga.

Akhirnya setelah perdebatan kecil tadi, Flo dan Dyo segera pergi mencari makanan. Berkeliling hutan. Flo masih terus semangat mencari makanan sebanyak mungkin agar ada persediaan untuk makan malam nanti. Tapi Dyo hanya berjalan saja mengikuti. Sudah 2 jam mereka mencari makanan saatnya mereka pulang, namun...

“Kau duluan saja kak! Aku ingin mencoba ke wilayah hutan buas” ucap Dyo sok jagoan.

“Untuk apa kau pergi kesana?” tanya Flo. Flo sangat heran dengan kelakuan adiknya itu.

“Aku ingin menantang mereka. Kenapa mereka sangat ditakuti? Hanya hewan biasa seperti kita saja” jawab Dyo.

“Kau tak boleh menyepelekan hewan lain seperti itu Dyo. Mereka sangat buas, mereka bisa saja memakanmu hidup-hidup. Kau mau mati di tangan mereka? Kau tak kasihan pada ibu Mami? Kau tak peduli dengan ayah Popo? Kau tak kasihan padaku Dyo? Kalau kau mati di tangan mereka pasti aku sangat kehilanganmu begitu juga para keluarga siput lain” jelas Flo. Flo tak akan membiarkan Dyo menuruti egonya. Ego negatif nya, yang membuat ia merasa paling paling hebat dibanding para hewan buas.

“Kau tak usah banyak bicara kak! Tong kosong nyaring bunyinya. Banyak bicara tapi tak ada hasilnya! Percuma kakak menjelaskan dan menasihatiku. Aku yakin mereka tidak akan memakanku.” ucap Dyo si siput kemdian langsung pergi berbelok ke arah wilayah hewan-hewan buas dan berbisa. Flo bingung, bagaimana dengan nasib Dyo nanti, tapi, apabila Flo mengikuti Dyo, bagaimana dengan makanan yang sudah dikumpulkan.

“Duh... bagaimana ini?” ucap Flo berbicara pada dirinya sendiri.

“Ah iya! Rumah monyet berada di dekat sini, bagaimana kalau aku titipkan saja makanan ini pada monyet” ucap Flo. Lalu, Flo berjalan sedikit menuju rumah monyet dan ia berkata titip makanannya sebentar, kalau bisa tolong antarkan pada rumah siput.

“Baiklah siput. Aku antarkan saja ke rumahmu. Hati-hati menyusul adikmu.” Ucap monyet. Siput mengangguk. Siput Flo berjalan dengan tergesa-gesa dengan berusaha sekuat tenaga untuk berjalan bahkan berlalri secara cepat. Demi adiknya si siput Dyo.

Siput Flo telah sampai di perbatasan wilayah hewan buas. Flo melihat kanan kiri mencari Dyo. “Ya ampun Dyo! Nekad sekali dia!” ucap si siput Flo kaget. Ia melihat siput Dyo sedang mengganggu salah satu singa disana.

“Hey! Kau singa! Jangan ganggu adikku!” ucap siput Flo lantang. Sontak singa menoleh pada Flo. Menatap kilat tajam. Tapi nyali Flo tidak menjadi ciut. Singa masih diam di tempat. Tapi, siput Dyo malah menghampiri Flo.

“Apa-apaan kau ini? Datang datang mericuhkan saja!” bentak siput Dyo.

“Aku? Aku hanya ingin menyelamatkanmu. Aku bertanggung jawab atasmu! Aku harus melindungimu! Sadarlah Dyo Siput” ucap Flo siput tegas. Bagaimanapun Dyo Siput tetaplah tanggung jawabnya. Apalagi saat ini Dyo sedang bersamanya.

“Alah! Kau hanya ala …” ucapan Dyo Siput terpotong karena tiba-tiba Flo Siput menubruknya hingga terpental jauh. Dan …

‘KHAAM’

Singa melahap Flo siput. Dyo siput yang melihatnya sangat terkejut dan tidak menyangka. Dyo siput segera pergi dari kawasan itu dan pulang ke rumahnya. Segera memberi tahu orangtua dan keluarga siput lainnya.

Kakaknya. Flo Siput. Kini ia telah tiada. Ini semua salah Dyo yang tak mau menurut dan lengah. Ini salahku ini salahku! Dyo siput terus mengulang-ulang kata itu ia sungguh merasa bersalah atas kelakuan dirinya sendiri.

Saat Dyo siput sampai di rumahnya. Ia segera bercerita tentang itu semua. Keluarga nya sangat kaget bahkan banyak yang terisak. Dyo siput hanya bisa diam merenung.

“Ini semua salahku maafkan aku. Aku menyesal. Aku berjanji akan menurut, disiplin dan tak akan menyepelakan dan merendahkan hewan lain yang jelas lebih baik dan kuat dari keluarga siput ku aku menyesal. Sungguh aku sangat menyesal.” Batin Dyo siput. Kini tak ada lagi kakak yang cerewet menasihatinya. Tak ada lagi yang mengatur ngrtur segala kegiatannya selan ibunya, tak ada lagi yang megingatkan tentang kedisiplinan. Tak ada kakak nya telah pergi. Sungguh mengenaskan. Pengorbanan seorang keluarga kakak siput. Untuk sang adik, demi adiknya selamat ia rela berkorban. Bahkan nyawanya sendiri. Sungguh Flo siput sangat baik hati, dan Dyo siput sangat beruntung mempunyai kakak seperti Flo siput.



Analisis Struktur Isi Teks



Orientasi

Terdapat sebuah rumah kecil dari pepohonan. Rumah itu milik keluarga Siput. Ada Popo, Mami, Flo, dan Dyo. Popo dan Mami adalah orang tua Flo dan Dyo. Rumah kecil ini terletak di hutan. Bergabung dengan rumah-rumah hewan lain. Tentang wilayah, jelas wilayah dibedakan karena mengingat jenis hewan itu bervariasi. Wilayah untuk hewan buas dipisahkan dan dibatasi sangat jauh dari hewan-hewan lunak yang mungkin akan menjadi buruannya. Sedangkan hewan herbivora, berdekatan dengan wilayah hewan lunak. Hewan lunak seperti siput, semut, keong, kura-kura, dll.

Flo adalah anak sulung. Maka Flo-lah yang harus sering mengalah. Sedangkan Dyo, dia adalah siput bungsu. Sifatnya masih kekanakan dan sering tak mau mengalah, dan pastinya Dyo selalu dipercaya dan dibela oleh siput Popo dan Mami.



Komplikasi

Akhirnya setelah perdebatan kecil tadi, Flo dan Dyo segera pergi mencari makanan. Berkeliling hutan. Flo masih terus semangat mencari makanan sebanyak mungkin agar ada persediaan untuk makan malam nanti. Tapi Dyo hanya berjalan saja mengikuti. Sudah 2 jam mereka mencari makanan saatnya mereka pulang, namun...

“Kau duluan saja kak! Aku ingin mencoba ke wilayah hutan buas” ucap Dyo sok jagoan.

“Untuk apa kau pergi kesana?” tanya Flo. Flo sangat heran dengan kelakuan adiknya itu.

“Aku ingin menantang mereka. Kenapa mereka sangat ditakuti? Hanya hewan biasa seperti kita saja” jawab Dyo.

“Kau tak boleh menyepelekan hewan lain seperti itu Dyo. Mereka sangat buas, mereka bisa saja memakanmu hidup-hidup. Kau mau mati di tangan mereka? Kau tak kasihan pada ibu Mami? Kau tak peduli dengan ayah Popo? Kau tak kasihan padaku Dyo? Kalau kau mati di tangan mereka pasti aku sangat kehilanganmu begitu juga para keluarga siput lain” jelas Flo. Flo tak akan membiarkan Dyo menuruti egonya. Ego negatif nya, yang membuat ia merasa paling paling hebat dibanding para hewan buas.

“Kau tak usah banyak bicara kak! Tong kosong nyaring bunyinya. Banyak bicara tapi tak ada hasilnya! Percuma kakak menjelaskan dan menasihatiku. Aku yakin mereka tidak akan memakanku.” ucap Dyo si siput kemdian langsung pergi berbelok ke arah wilayah hewan-hewan buas dan berbisa. Flo bingung, bagaimana dengan nasib Dyo nanti, tapi, apabila Flo mengikuti Dyo, bagaimana dengan makanan yang sudah dikumpulkan.



Resolusi

Saat Dyo siput sampai di rumahnya. Ia segera bercerita tentang itu semua. Keluarga nya sangat kaget bahkan banyak yang terisak. Dyo siput hanya bisa diam merenung.

“Ini semua salahku maafkan aku. Aku menyesal. Aku berjanji akan menurut, disiplin dan tak akan menyepelakan dan merendahkan hewan lain yang jelas lebih baik dan kuat dari keluarga siput ku aku menyesal. Sungguh aku sangat menyesal.” Batin Dyo siput. Kini tak ada lagi kakak yang cerewet menasihatinya. Tak ada lagi yang mengatur ngrtur segala kegiatannya selan ibunya, tak ada lagi yang megingatkan tentang kedisiplinan. Tak ada kakak nya telah pergi. Sungguh mengenaskan. Pengorbanan seorang keluarga kakak siput. Untuk sang adik, demi adiknya selamat ia rela berkorban. Bahkan nyawanya sendiri. Sungguh Flo siput sangat baik hati, dan Dyo siput sangat beruntung mempunyai kakak seperti Flo siput.



TUGAS 3: RESENSI BUKU TERBARU



Judul               : Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus

Penulis             : K.H. Husein Muhammad

Penerbit           : Noura Books Bandung

Tahun Terbit   : Cetakan I, Oktober 2015

Tebal               : 179 Halaman

ISBN               : 978-602-385-009-9



Cinta itu Mendekatkan, Bukan Menjauhkan.



“Karena kedekatan beliau berdua (Gus Mus dan Kiai Husein Muhammad) dengan Gus Dur, maka gambaran Gus Dur yang muncul dalam percakapan pun terasa sangat riil sebagai sosok. Bukan Gus Dur sang intelektual saja, bukan Gus Dur sang pemimpin saja, bukan Gus Dur sang politisi saja, bukan Gus Dur sang kiai saja: tetapi lebih dari itu adalah Gus Dur sang manusia dengan segala atribut yang melekat pada sosoknya”. Tulis Alissa Wahid pada pengantar buku ini.

Raga KH. Abdurrahman Wahid memang sudah lama pergi meninggalkan keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mencintainya. Namun pemikiran, sikap, pengalaman hingga humornya akan senantiasa terus hidup dalam benak semua orang. Gus Dur, demikian ia dipanggil, memag sosok nyentrik, langka dan tiada tanding. Beliau bukan hanya seorang kiai yang pandai memintal dalil agama dengan aneka referensi dan mantan pemimpin sebuah organisasi keagamaan terbesar di dunia saja, namun juga sosok negarawan, budayawan, intelektual, pembela kaum minoritas, tokoh pluralisme, hingga produsen berbagai lelucon yang selalu hadir disela momen-momen genting sekalipun. Dengan keluasan ilmu, kedalaman pemahaman, keberanian mengemulakan pendapat, serta hal-hal nyeleneh lain yang ia miliki, Gus Dur dianggap sebagai tokoh liberalis, antek Yahudi bahkan kafir oleh sebagian orang yang gagal paham dengan ide-ide dan sepak terjang beliau. Namun tidak sedikit masyarakat yang menganggap Gus Dur sebagai seorang wali, sang kekasih Tuhan.

Buku berjudul Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus ini bukanlah sebuah biografi mantan presiden RI ke-4 tersebut. Melainkan sebuah buku yang berisi kisah-kisah Gus Dur yang dirangkum oleh KH. Husein Muhammad, Penulis Buku Fiqh Perempuan dan pendiri Fahmina Institute berdasarkan obrolannya dengan sahabat dekat Gus Dur sendiri yaitu KH. Musthofa Bisri (Gus Mus). Sejatinya obrolan di antara keduanya (Gus Mus dan Buya Husein) hanya berlangsung kurang lebih satu jam. Namun keindahan Gus Mus dalam menuturkan cerita ditambah kemahiran Buya Husein dalam mengurainya menjadi perspektif yang lebih luas, menjadikan buku ini bukan hanya menarik dari sisi ceritanya saja, melainkan sebuah obrolan ringan antara dua tokoh ulama’ berbeda generasi yang sarat makna. Dengan gaya penuturan santai, disertai cuplikan-cuplikan kisah serupa, Pengasuh Pondok Pesantren Darr At-Tauhid Arjawinangun, Cirebon ini menjadikan buku tersebut cocok dibaca saat senja bersama secangkir teh atau kopi.

Pernah suatu waktu saat masih di Mesir, Gus Dur tiba-tiba mengundang banyak temannya untuk pesat makan. Menu khusus yang dimasak sendiri oleh Gus Dur adalah Sop Ceker dan Kepala Ayam. Semua senang dan melahapnya hingga kenyang. Lalu Gus Mus terheran dan bertanya bagaimana Gus dur mempeoleh ceker dan kepala ayam sebanyak itu?

Dengan gaya santainya Gus Dur menjawab “Saya bilang ke penjual ayam, ‘minta ceker dan kepalanya, buat kucing-kucing saya di rumah!’”.

Sejak itu, ceker dan kepala ayam di pasar-pasar Mesir tidak lagi gratis.

Kedekatan antara Gus Dur dengan Gus Mus juga nampak saat seminggu sebelum Gus Dur berpulang kepada sang Khalik. Gus Dur secara khusus menyempatkan diri untuk mampir ke kediaman Gus Mus di Rembang ditemani Ibu Nyai Sinta Nuriyah, sang istri. Padahal saat itu kondisi kesehatan Gus Dur sedang kurang baik.

Sekitar tahun 1970-1980-an, Gus Dur diundang oleh Arief Budianto, sosiolog dan tokoh golput termasyhur era Orde baru, untuk menjadi pembicara utama dalam perbincangan ilmiah yang membahas tema seputar hubungan Islam dengan negara, kebangsaan, dan demokrasi. Seperti biasa, Gus Dur tampil dengan pemikiran-pemikirannya yang brilian. Sayangnya, uraian Gus Dur berakhir dengan kesimpulan yang tidak memuaskan para peserta seminar.

Kebingungan yang dipuncaki oleh sebuah pertanyaan penting kepada Gus Dur “Adakah konsep atau sistem bentuk negara menurut islam?”. Ditodong dengan pertanyaan demikian, Gus Dur bukannya bingung, malah dengan santai menjawab “Itu yang belum aku rumsukan”. Buya Husein yang mendengar kisah tersebut dari Gus Mus kemudian tertawa renyah sambil menyeruput kopi yang disuguhkan dan dibuat Gus Mus sendiri.

Demikianlah, saat para alim-arif berbicara, hal-hal sederhana yang terlontar selalu membawa kedalaman makna dan pelajaran. Beliau berdua (Gus Mus dan Buya Husein) hanya bercerita tentang Kiyai yang mereka idolakan, mereka tidak saling berlomba untuk menunjukkan siapa yang terpintar, terpopuler dan ter- yang lain. barangkali itulah pelajaran berharga yang kita dapat setelah membaca buku ini --selain pelajaran yang dapat kita ambil dari sosok Gus Dur.



TUGAS 4: JURNAL REFLEKSI


JURNAL REFLEKSI PERKULIAHAN 

Selama 16 minggu mengikuti perkuliahan ini, saya belajar banyak tentang perbedaan konsep antara teks ilmiah dan nonilmiah, bagaimana cara membaca teks dengan teliti dan cermat, serta belajar untuk mulai menyukai buku-buku informatif yang bagi saya terkesan membosankan. Satu buku setiap minggu, menjawab pertanyaan, menulis resensi, membuat artikel reflektif, dan beberapa tugas lain mau tidak mau membuat saya terus mengasah kemampuan menulis saya. Resensi yang selama ini saya anggap hanya sebatas rangkuman sebuah buku, ternyata memiliki unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam penulisannya sehingga menarik untuk dibaca. Saya ingat betul, bagaimana Ibu Endah mengkritisi resensi buku The Jilbab Traveller karangan Asma Nadia yang saya tulis di depan teman-teman satu kelas. Masih jauh dari sempurna memang. Tapi dengan begitu, saya menjadi tahu dimana letak kekurangan resensi tersebut, dan berusaha memperbaiki dengan tabel indikator yang diberikan Ibu Endah. Sejak saat itu juga, saya menjadi lebih percaya diri untuk ikut serta dalam lomba menulis resensi yang banyak digelar penulis-penulis kenamaan atau media percetakan Indonesia.

Selain resensi, kemampuan saya dalam membaca cepat dan cermat masih perlu terus dilatih. Kebanyakan dari kita memang sangat pandai dalam menjawab pertanyaan yang bersifat literatif, namun kurang teliti dalam menjawab pertanyaan yang sifatnya kritis. Meski terlihat remeh, kemampuan ini tidak serta merta didapat seseorag kecuali dengan latihan yang intensif dan berkelanjutan.

Di antara 10 buku yang sudah saya baca, buku Reach Your Dreams karya Wirda Mansur-lah yang paling menarik untuk saya ulas. Buku ini seolah memberi hembusan semangat kepada pembacanya untuk giat dalam mensyi’arkan dan menghafalkan Al-Qur’an. Hidup dalam lingkungan yang agamis, membuat saya tidak asing lagi dengan keutamaan yang diperoleh oleh seorang penghafal Al-Qur’an. Menurut saya, Wirda dalam buku tersebut hanya menekankan pada pengalaman pribadinya tentang bagaimana meraih dunia dengan Al-Qur’an saja, adapun teori-teori, dalil-dalil, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kajian ilmiah yang membuktikan bahwa Al-Qur’an itu mukjizat agung bagi umat islam hanya dikupas secara mendasar.

Memang, sejak kecil saya sudah dipaksa orang tua saya untuk menghafal beberapa surat pendek dalam Al-Qur’an. Hingga usia saya 15 tahun, Alhamdulillah saya sudah hafal juz 30 (juz ‘amma) dan beberapa surat penting seperti Al-Mulk, Al-Waqi’ah, As-Sajadah, Yasin, Al-Kahfi, dan Al-Jumu’ah. Namun saat itu saya hanya menghafal karena takut dimarahi orang tua, atau karena tuntutan di sekolah dan di pondok. Saya belum paham betul nilai plus yang akan diperoleh bagi para penjaga ayat-ayat suci tersebut.

Menginjak SMA, saya mulai sedikit malas untuk menambah hafalan. Beban tugas sekolah yang semakin banyak membuat waktu saya lebih banyak saya habiskan dengan rumus-rumus dan persamaan. Setiap saya ditanya ibu sudah hafal surat apa bulan ini, saya hanya menjawab dengan senyum lantas segera berlalu. Muroja’ah hafalan juga sangat jarang saya lakukan. Padahal penting bagi seorang hafidz/hafidzah untuk mengulang-ulang hafalan agar tidak lupa, berapapun ayat yang sudah dihafal. Puncaknya ketika bulan Agustus 2016, saya diterima di UM dan mengharuskan saya untuk berpindah ‘’kewarganegaraan’ menjadi kera ngalam, saya semakin menjauh dari benda kotak bersampul kulit sintesis tersebut. Tugas, makalah, laporan, resensi, dan sejenisnya terasa lebih penting untuk segera diselesaikan. Intensitas membaca pun mulai saya kurangi, yang sebelumnya saat saya di rumah sehari minimal 5 kali membaca Al-Qur’an setiap selesai sholat, kini hanya saya lakukan saat selesai sholat maghrib saja. Itupun tidak lebih dari 5 lembar.

Hingga pada bulan Maret 2017, saat sedang “cuci mata” di Gramedia Book Store Malang, mata saya tertuju pada sebuah buku bersampul hijau dengan cover gadis berjilbab membawa Al-Qur’an. 3 hari kemudian saya sudah menyelesaikan membaca bagian akhir dan merasa ada sesuatu yang sangat menyayat hati dan nurani saya saat itu. Bagaimana tidak, seorang Wirda Mansur yang lebih muda dari saya, yang belajar Al-Qur’annya baru kemarin sore, ternyata di usianya yang ke-15 (tahun 2015) sudah wisuda tahfidz 30 juz dan dinobatkan sebagai Duta Al-Qur’an. Lah saya yang dari bayi dicekoki ayat-ayat suci tersebut sampai usia 18 tahun saja masih mbulet saat disuruh hafalan surat Al-Kahfi. Belum lagi beberapa surat lain yang mulai tidak betah tinggal di kepala saya. Ya Salam, maafkan hamba-Mu.

Sejak itu, sejak Bu Endah menyuruh Offering B membaca 10 buku informatif dan secara tidak langsung mengantarkan saya menemukan buku ini, saya menjadi lebih mawas diri. Saya merasa terlalu sembrono untuk obsesi menambah hafalan saja, tanpa peduli ayat-ayat yang lebih dulu menempel di kepala ingin diulang agar tidak lupa. Wirda benar, tidak ada batasan usia untuk bisa menghafal Al-Qur’an. Selama kita mau dan niat sungguh-sungguh, insha Allah, Allah akan memberi jalan dan kemudahan. Jadikan Al-Qur’an sebagai penerang, maka Allah akan menerangkan.

 Well, keajaiban mengikuti mata kuliah Membaca Nonilmiah/Informatif tidak berhenti sampai disitu. Setelah beberapa kali salah dalam menganalisis struktur isi teks, akhirnya kami (terutama saya) mengerti perbedaan antara teks deskripsi dan teks LHO, yang mungkin bagi sebagian orang masih sukar membedakannya. Saya juga belajar tentang teks cerita seperti apa yang masuk kategori imajinatif futuristik. “Learning by Doing”, barangkali ungkapan tersebut sangat cocok untuk menggambarkan metode belajar kita. Jika tidak melakukan sendiri mencari teks, menganalisis struktur dan ciri bahasanya tanpa diberi tahu teori sebelumnya, mungkin kita tidak akan paham. “Pengalaman adalah guru terbaik”.

Terakhir, penulisan jurnal refleksi perkuliahan ini mengharuskan saya untuk mengingat kembali kenangan ‘menyakitkan’ itu dan menuangkannya dalam bentuk tulisan yang bisa dinikmati bukan hanya diri saya sendiri, tapi juga mereka yang mau mengambil manfaat dari sedikit yang kita berikan. Seberat dan sebanyak apapun tugas yang diberikan dosen, yakinlah bahwa suatu saat kita akan merindukannya. Tuhan tidak pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Yakin!

5 komentar:

  1. wahh, teks reflektif multimodanya menarik dan keren banget ukhty....
    apalagi pas puisinya...
    kisah inovatif dari seorang hafidzah muda, yang membuktikan bahwa wanita muslim dapat memiliki peran yang besar dan penting bagi kegemilangan Islam dan Al Qur'an, layaknya Siti Fatimah, putri dari Rosulullah SAW.

    semoga kita bisa seperti muslimah-muslimah tangguh ini ya!!!!!!

    AAMIIN

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komen yang bagus, lanjutkan memberikan komen ke teman-teman yang lain ya.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  2. PILIHAN BUKU INSPIRATIF, PUISI BAGUS, REFLEKSI YANG INDAH. EJAAN DAN TANDA BACA DICERMATI LAGI YA.

    BalasHapus
  3. Refleksi yang indah, bahasa ekspresif. Teruslah membaca!!!

    BalasHapus