TUGAS 1: REFLEKSI MULTIMODA
Identitas Buku
Judul :
Reach Your Dreams
Penulis : Wirda Mansur
Penerbit :
Gagas Media Jakarta
Tahun terbit : 2016
Jumlah Halaman : 208 halaman
ISBN :
978-979-780-873-0
Catatan
tentang Kredibiltas Buku
Buku ini ditulis oleh
Wirda Salamah Ulya atau lebih akrab disapa Wirda Mansur, putri pertama Ustadz
Yusuf Mansur. Saat usianya 15 tahun, Wirda telah berhasil menghafal 30 juz
al-Qur’an. Bahkan di akhir tahun 2015, Wirda terpilih sebagai duta Al-Qur’an
dan berkesempatan mempelajari serta menyiarkan Al-Qur’an di negeri Paman Sam,
Amerika Serikat. Wirda Mansur juga pernah menghafal al-Qur’an di depan Imam
Masjidil Haram, Syaikh Abdur Rahman. Buku Reach
Your Dreams ini diterbitkan oleh penerbit Gagas Media Jakarta yang sejak awal berdirinya tanggal 4
Juli 2003 hingga tahun 2016, telah menerbitkan sedikitnya 800 buku dengan
segmentasi popular untuk kalangan remaja sehingga tidak perlu diragukan lagi
kredibilitasnya.
Ikhtisar
Buku ini berkisah tentang
perjalanan dan perjuangan Wirda dalam meraih cita-citanya dengan jalan
Al-Qur’an. Rela keluar dari zona zaman, meninggalkan keluarga dan merantau jauh
ke negeri orang adalah hal berat yang tidak mudah dilakukan banyak gadis usia
belasan pada umumnya. Kisah-kisahnya mengarungi hidup di New York, Washington
DC, dan kota-kota di dunia membuat siapapun yang membaca buku ini terpana.
Wirda membuktikan janji Allah bahwa dengan Al-Qur’an segala sesuatu menjadi
mudah dan mungkin.
Pada bagian pertama buku
ini, Wirda berkisah tentang dirinya yang tertinggal pesawat di bandara Jeddah
ketika perjalanan transit dari New York ke Indonesia. Membayangkan gadis kecil
nan imut yang tertinggal seorang diri di negeri jauh dan tidak mengenal
siapapun membuat pembaca semakin percaya atas kekuasaan Allah atas orang yang
selalu membawa nama-Nya dimanapun dan kapanpun dengan keajaiban dan kemudahan
yang Wirda dapat sehingga dapat melanjutkan perjalanan kembali ke Indonesia.
Wirda juga menulis
tentang catatan mimpi-mimpinya di masa depan, bagaimana keinginannya untuk
mengelilingi dunia, memiliki universitas dan sekolah khusus Al-Qur’an bertaraf
internasional sendiri, serta mimpi-mimpi hebat lain yang tertuang dalam buku
pribadinya yang ia beri nama “It’s All My Dreams”. Demikianlah cara Wirda,
menuliskan mimpi-mimpinya kemudian memintanya kepada Allah SWT. selaku Dzat
yang Maha segalanya. Wirda mengungkapkan bahwa tidak aada kata terlambat dalam
hal mempelajari dan menghafal Al-Qur’an, yang ada adalah diri kita yang kurang
bersungguh-sungguh dan malas untuk menaati perintah-Nya.
Dengan bahasa khas anak
muda yang asyik tapi menyentuh, Wirda mengajak pembaca untuk selalu
berprasangka baik kepada Allah, meminta hanya kepada-Nya, maka Allah juga akan
memberi yang terbaik untuk hamba-Nya. Tentunya disertai dengan ikhtiar dan
ketawakkalan yang penuh.
Nilai-Nilai
Buku pertama Wirda Mansur
yang berjudul Reach Your Dreams berisi
kisah inspiratif Wirda Mansur yang dapat meraih cita-citanya dan keliling dunia
dengan jalan Al-Qur’an. Setiap bagian dalam buku ini menunjukkan kemuliaan
Al-Qur’an yang dapat digunakan sebagai wasilah
untuk memenuhi hajat manusia tidak hanya yang bersifat ukhrowi (akhirat) saja, tapi juga kebutuhan duniawi.
Dengan membaca buku ini,
kita akan belajar hakikat berikhtiar, sungguh-sungguh, tawakkal serta
tanggungjawab terhadap pilihan. Bahwa pertolongan Allah itu sangat dekat dengan
hamba-Nya yang setiap saat selalu berusaha mendekat. Wirda telah membuktikan,
meski tidak melalui jalur akademik, ia tetap bisa melanjutkan sekolah di luar
negeri secara gratis dengan barokah Al-Qur’an. Buku ini juga mengajarkan
tentang usia tidak pernah menjadi penghalang untuk belajar apalagi menghafal
Al-Qur’an, dengan kemauan keras, usaha keras, dan tentu saja mengharap ridho
Allah, insha Allah semua akan
mungkin.
Refleksi
Akan banyak inspirasi dan
motivasi yang didapat setelah membaca buku ini. Terlebih tentang nilai ikhtiar,
tawakkal, serta tanggung jawab terhadap pilihan. Buku ini seakan menampar saya,
betapa kurang bersyukurnya saya atas nikmat umur dan kesempatan yang telah
Allah berikan selama ini. Di usianya yang ke-15 tahun, Wirda telah hafal 30 juz
Al-Qur’an dan dinobatkan sebagai duta Al-Qur’an. Sedangkan saya, menginjak usia
19 tahun saat ini, Surat Al-Kahfi saja masih mbulet. Tabungan hafalan juz ‘amma dan beberapa surat pendek sering
lupa karena malas muroja’ah. Betapa kurang
bermanfaatnya hidup kita di sunia jika tidak dapat memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya.
Artikel Reflektif
Kalau
Tidak Sekarang, Kapan Lagi?
Ainiyatul
Farihah
Disadari atau tidak,
sebagian besar dari kita sering kali menyia-nyiakan apa yang kita punya. Mulai
dari harta benda, kecerdasan, kesempatan, dan terutama waktu. Padahal kita
tahu, kesempatan kita untuk hidup di dunia ini hanya diberi satu kali, tidak lebih.
Berapa waktu yang sudah kita buang untuk berselancar di beranda facebook, nonton televisi, dan kegiatan
kurang bermanfaat lain? Sampai saat ini sudah berapa juz yang kita hafal?
Berapa kali sehari kita moroja’ah hafalan?
Lebih lama mana waktu kita untuk membaca status atau membaca Al-Qur’an?
Belajar dan menghafal
Al-Qur’an selama ini identik dengan aktifitas para santri yang sedang bergelut
dengan pelajaran ilmu-ilmu keislaman di pondok pesantren saja, sementara para
pelajar dan mahasiswa lebih sering dikaitkan dengan aktifitas belajar ilmu-ilmu
umum dan teknologi modern. Mungkin terbilang langka mahasiswa atau dosen yang hafal
Al-Qur’an.
Padahal jika mau berkaca
pada sejarah ilmuan-ilmuan muslim yang fenomenal dalam bidang filsafat dan
sains pada abad pertengahan Islam, kita pasti akan mendapatkan segudang contoh
orang-orang yang mumpuni di bidangnya, dan mereka rata-rata hafal serta
menguasai Al-Qur’an. Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ar-Razi, dan
sebagainya, mereka adalah sosok ilmuan yang komplit. Rumus-rumus fisika, kimia,
dan astronomi mereka kuasai. Ilmu tafsir, hadis, fiqih juga dipahami secara
mendalam. Apa rahasianya? Ternyata saat itu memang ada tradisi yang kuat bahwa
hafal dan faham Al-Qur’an itu merupakan harga mati (tidak boleh ditawar)
sebelum mereka beranjak untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya.
Jika saat ini kita adalah
seorang mahasiswa, pasti usia kita masih dalam kisaran 18-24 tahun. Usia
tersebut masuk dalam kategori usia subur dan produktif (golden age) dalam mencari ilmu, termasuk menghafal. Terkait dengan
usia ini, Syaikh Alwi Al-Haddad dalam bukunya Sabilul Iddikar mengatakan yang artinya “ketika usia remaja menginjak 20 tahun dan tidak memiliki kebanggan,
maka tidak akan muncul kebanggaan lagi. Ketika engkau tidak mampu menguasai
masa remaja, maka engkau tidak bisa menguasainya setelah itu selama hidupmu”. (sumber:
www.nurani.fortheholyqur’anmemorization.org)
Dengan kata lain, “hari
ini” bagi seorang remaja adalah miniatur kesuksesan di masa yang akan datang.
Bila “hari ini” dalam diri seorang remaja telah tumbuh benih-benih kompetensi,
integritas, kepemimpinan, dan etos kerja tinggi, kemungkinan besar 10 atau 15
tahun yang akan datang, sudah menjadi orang sukses sesuai dengan yang dia
kerjakan sekarang.
Selain itu, mensyukuri
nikmat dan anugerah Allah adalah sebuah keniscayaan manusia sebagai hamba
Allah. Allah memberikan anugerah umur kepada hamba-Nya semata untuk berlomba
mencari ridlo-Nya. Rasa syukur tersebut semestinya dimanifestasikan secara
konkrit dalam bentuk upaya maksimal untuk mempelajari, mendalami, serta
menghafal kalam Allah secara tuntas.
Belum lama ini, dalam
situs youtube terpampang seorang anak balita yang membaca Al-Qur’an secara bil ghaib. Dialah Abdurrahman Farih dari
Al-Jazair yang saat video itu diambil usianya baru 3 tahun. Orang tua mana yang tidak bangga memiliki
buah hati sesholih dan secerdas itu? Belakangan, stasiun televisi Indonesia
juga mulai memperlihatkan kepeduliannya tentang masalaha agama ini. Meski
program Hafidz Indonesia hanya ada
saat bulan romadhon saja, setidaknya hal tersebut sudah menjadi cambuk bagi
kita yang hingga saat ini belum ada niat untuk menghafal Al-Qur’an.
Begitu banyak keutaman
yang akan diperoleh bagi seorang hafidz/hafidzah.
Diantaranya jasadnya tidak akan habis dimakan tanah saat sudah meninggal kelak.
Waktu kita hidup di dunia kedang menyerupai fatamorgana. Dari jauh kelihatan
indah, seakan kita masih memiliki kesempatan 1000 tahun yang tiap detiknya bisa
diisi dengan 1000 aktifitas luar biasa. Namun ternyata waktu yang kita miliki
begitu singkat dan sesak dengan berbagai kesibukan harian yang teknis.
Adakah yang tahu kapan
kita dipanggil untuk menghadap-Nya? Sudah cukupkah bekal kita? Kapan kita akan
mulai menghafal Al-Qur’an? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Puisi
Reflektif
Apa
yang kita cari?
Ainiyatul
Farihah
Dunia
adalah fana
Sedang
akhirat itu nyata
Apa
yang kita cari sebenarnya?
Tidak
ada
Semua
fatamorgama
Pernahkan
kita merasa ajal sudah dekat
Lalu
semua yang gemerlap akan sirna dalam sekelebat
Bukankah
Allah sudah terlalu banyak memberi kemurahan
Kita
saja yang tidak pernah memanfaatkan kesempatan
Duhai
hati
Jangan
kau mati sebelum aku mati
Jadilah
pengingat saat aku lalai
Penegur
saat diri mulai abai
Apa
yang kita cari sebenarnya?
Ketenaran?
Lupakah
jika yang kita punya sekarang hanya titipan?
Duhai
diri
Apa
yang kita cari sebenarnya?
___________
Senja
yang membawaku kembali
28
April 2017
TUGAS 2: ANALISIS STRUKTUR ISI TEKS CERITA IMAJINATIF
Teks Cerita Imajinatif (1)
Teks Cerita Imajnatif (2)
TUGAS 3: RESENSI BUKU TERBARU
Judul : Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus
TUGAS 4: JURNAL REFLEKSI
Kisah Sedih Buku Tak Bersampul
Buku berwarna biru-lusuh, berjudul Bahasa Indonesia itu, tergeletak di atas meja belajar Andi. Di sampingnya, ada buku Matematika, IPA, dan IPS. Di antara buku-buku itu, buku Bahasa Indonesia-lah yang paling kotor. Yang paling lusuh. Sebabnya, buku Bahasa Indonesia jadi satu-satunya buku yang kovernya tidak bersampul. Buku yang dibeli dari toko buku bekas. Sedangkan buku-buku lainnya, bersampul plastik: indah dan bersih.
“Hai, teman-teman,
kalian tahu tidak, kenapa buku Bahasa Indonesai tidak bersampul?” kata buku Matematika sombong.
Buku IPA dan IPS menggelengkan kepala. Sedangkan buku Bahasa Indonesia diam tertunduk sedih.
“Karena ia satu-satunya buku yang terjelek di antara kita,” kata buku Matematika mengejek.
“Betul juga itu,” tambah buku IPA, “bukankah di antara kita buku yang dibelinya dari toko loak adalah buku Bahasa Indonesia. Sedangkan kita dibeli dari toko buku bergengsi di kota ini. Ya, wajarlah kita disampuli, sedangkan dia tidak, lusuh lagi,” buku IPA menunjuk ke arah buku Bahasa Indonesia.
Buku Bahasa Indonesia semakin tertunduk diam. Sedih. Ia tidak menyangka kalau kawan-kawannya tega menghinanya.
Kreeeet, pintu kamar dibuka. Andi masuk menuju meja belajarnya. Diperhatikannya keempat buku yang berserakan di atas meja. Andi pun membereskannya. Menumpuk buku-buku tersebut. Dan kembali pergi ke luar kamar.
“Horeee. Aku ditempatkan yang paling atas,” teriak buku Matematika.
“Aku di tempat kedua,” teriak buku IPA.
“Dan aku di tempat ketiga,” sambut buku IPS.
Sedangkan buku Bahasa Indonesia diam. Kover bukunya yang lusuh dan kotor terhimpit. Buku Bahasa Indonesia menangis sedih dalam hati.
Selang beberapa saat. Ketika buku Matematika sedang tertawa membangga-banggakan dirinya. Tiba-tiba seekor cicak yang ada di langit kamar membuang kotorannya. Dan, plukkk! Kotoran cicak jatuh menimpa kover buku Matematika. Seketika itu, buku Matematika diam. Malu dan jijik dengan kotoran itu yang baunya menyengat.
“Apa yang terjadi?” seru buku Bahasa Indonesia.
“Buku Matematika kejatuhan kotoran cicak,” bisik buku IPS pada buku Bahasa Indonesia sambil menahan tawa.
Mendapati buku Matematika-nya ada kotoran cicak, Andi mengambil buku tersebut. Andi melepas sampul plastik yang terkena kotoran. Membuangnya ke tempat sampah. Andi meletakkan buku Matematika-nya di sebelah buku Bahasa Indonesia. Kini buku Matematika itu tak bersampul lagi.
“Maafkan aku,” kata buku Matematika pada buku bahassa Indonesia.
Buku Bahasa Indonesia tersenyum ramah. Tanda menerima permintaan maaf buku Matematika. Keduanya pun kemudian tersenyum. Kemudian, disambut senyum buku IPA dan IPS. Serempak keempatnya tersenyum. Kompak. Senyum yang indah sekali.
Sejak saat itu, ejek mengejek di antara buku pelajaran yang dimiliki Andi tidak ada lagi. Setiap buku berteman akrab, dan saling bekerja untuk bisa menjadikan Andi siswa yang pintar.
Sungguh buku-buku yang indah. Sekalipun ada yang bersampul dan tidak bersampul, mereka selalu kompak tersenyum lucu. Karena dari dalam buku itu tersimpan segudang ilmu; “Hidup buku! Hidup ilmu!” seru semua buku pelajaran yang dimiliki Andi. Serentak. Kompak.
Ingat, teman!
Jangan suka mengejek dan menganggap rendah teman. Karena seseorang yang diejek bisa saja, sebenarnya, lebih hebat dari yang mengejek, jika demikian, rasanya malu, kan. Bukankah saling menghargai lebih indah dari saking mengejek. Bisa membuat persahabatan tambah semakin hebat dan kompak.
Analisis struktur isi teks
Orientasi
Buku berwarna biru-lusuh, berjudul Bahasa Indonesia itu, tergeletak di atas meja belajar Andi. Di sampingnya, ada buku Matematika, IPA, dan IPS. Di antara buku-buku itu, buku Bahasa Indonesia-lah yang paling kotor. Yang paling lusuh. Sebabnya, buku Bahasa Indonesia jadi satu-satunya buku yang kovernya tidak bersampul. Buku yang dibeli dari toko buku bekas. Sedangkan buku-buku lainnya, bersampul plastik: indah dan bersih.
Komplikasi
“Hai, teman-teman, kalian tahu tidak, kenapa buku Bahasa Indonesai tidak bersampul?” kata buku Matematika sombong.
Buku IPA dan IPS menggelengkan kepala. Sedangkan buku Bahasa Indonesia diam tertunduk sedih.
“Karena ia satu-satunya buku yang terjelek di antara kita,” kata buku Matematika mengejek.
“Betul juga itu,” tambah buku IPA, “bukankah di antara kita buku yang dibelinya dari toko loak adalah buku Bahasa Indonesia. Sedangkan kita dibeli dari toko buku bergengsi di kota ini. Ya, wajarlah kita disampuli, sedangkan dia tidak, lusuh lagi,” buku IPA menunjuk ke arah buku Bahasa Indonesia.
Buku Bahasa Indonesia semakin tertunduk diam. Sedih. Ia tidak menyangka kalau kawan-kawannya tega menghinanya.
Kreeeet, pintu kamar dibuka. Andi masuk menuju meja belajarnya. Diperhatikannya keempat buku yang berserakan di atas meja. Andi pun membereskannya. Menumpuk buku-buku tersebut. Dan kembali pergi ke luar kamar.
“Horeee. Aku ditempatkan yang paling atas,” teriak buku Matematika.
“Aku di tempat kedua,” teriak buku IPA.
“Dan aku di tempat ketiga,” sambut buku IPS.
Sedangkan buku Bahasa Indonesia diam. Kover bukunya yang lusuh dan kotor terhimpit. Buku Bahasa Indonesia menangis sedih dalam hati.
Resolusi
Mendapati buku Matematika-nya ada kotoran cicak, Andi mengambil buku tersebut. Andi melepas sampul plastik yang terkena kotoran. Membuangnya ke tempat sampah. Andi meletakkan buku Matematika-nya di sebelah buku Bahasa Indonesia. Kini buku Matematika itu tak bersampul lagi.
“Maafkan aku,” kata buku Matematika pada buku bahassa Indonesia.
Buku Bahasa Indonesia tersenyum ramah. Tanda menerima permintaan maaf buku Matematika. Keduanya pun kemudian tersenyum. Kemudian, disambut senyum buku IPA dan IPS. Serempak keempatnya tersenyum. Kompak. Senyum yang indah sekali.
Koda
Jangan suka mengejek dan menganggap rendah teman. Karena seseorang yang diejek bisa saja, sebenarnya, lebih hebat dari yang mengejek, jika demikian, rasanya malu, kan. Bukankah saling menghargai lebih indah dari saking mengejek. Bisa membuat persahabatan tambah semakin hebat dan kompak.
Analisis Ciri Bahasa
Menggunakan kata emotif dan bersifat imajinasi
Dalam cerita di atas, disebutkan kisah tentang buku-buku pelajaran yang bisa berbicara. Hal ini tentu saja tidak terjadi dalam dunia nyata.
Menggunakan kata yang bermakna konotatif
Cerita di atas menyiratkan pesan kepada pembaca, bahwa buku adalah sumber ilmu. Tidak seharusnya manusia membedakan perlakuan terhadap buku berdasarkan tempat membelinya atau ada-tidaknya sampul buku. Pesan tersebut tidak dijelaskan langsung oleh si penulis, melainkan disampaikan melalui dialog yang dilakukan antar buku pelajaran.
Teks Cerita Imajnatif (2)
PENGORBANAN SANG KAKAK SIPUT
Salsa Devara
Terdapat
sebuah rumah kecil dari pepohonan. Rumah itu milik keluarga Siput. Ada Popo,
Mami, Flo, dan Dyo. Popo dan Mami adalah orang tua Flo dan Dyo. Rumah kecil ini
terletak di hutan. Bergabung dengan rumah-rumah hewan lain. Tentang wilayah,
jelas wilayah dibedakan karena mengingat jenis hewan itu bervariasi. Wilayah
untuk hewan buas dipisahkan dan dibatasi sangat jauh dari hewan-hewan lunak yang
mungkin akan menjadi buruannya. Sedangkan hewan herbivora, berdekatan dengan
wilayah hewan lunak. Hewan lunak seperti siput, semut, keong, kura-kura, dll.
Flo
adalah anak sulung. Maka Flo-lah yang harus sering mengalah. Sedangkan Dyo, dia
adalah siput bungsu. Sifatnya masih kekanakan dan sering tak mau mengalah, dan
pastinya Dyo selalu dipercaya dan dibela oleh siput Popo dan Mami. Suatu pagi
yang cerah. Terlihat Siput Flo sedang membantu ibunya, siput Mami. Flo membantu
untuk menyusun makanan hasil mencarinya saat subuh tadi.
“Flo,
bangunkan Dyo. Suruh dia ikut membantu mencari makanan untuk nanti siang.” perintah
Mami pada Flo. Flo tak berkata apa-apa, dia langsung saja menghampiri Dyo.
“Dyo.
Bangun! Ibu menyuruhmu! Ayo!” ucap Flo membangunkan Dyo. Tapi Dyo tetap
pura-pura tak mendengar. Karena sebenarnya Flo tau bahwa Dyo sudah terbangun, makanya
Flo terus mendesak.
“Dyo!
Cepat!”
“Apa
kau tak mau sarapan pagi?”
“Siput
Ibu Mami dan Aku tadi sudah mencari makanan untuk kita semua”
“Ayo
Dyo bangun! Aku tau kau sudah bangun!”
“Ibu
dan Ayah Popo sudah menunggu! Cepatlah!”
Flo
terus mengoceh agar Dyo mau menuruti perintah ibunya yang tadi diamanatkan
padanya. Flo tak menyerah begitu saja apabila hanya diabaikan.
“Sudahlah!
Siapa kau mengaturku!” bentak Dyo. Memang Flo dan Dyo tak pernah akur dan
rukun. Dyo merasa dirinya tersaingi oleh Flo.
“Aku
hanya menyampaikan amanat Ibu Mami Dyo. Ayolah bangun. Dasar pemalas sekali!” cibir
Flo. Cibiran itu hanya bercanda, tapi sepertinya Dyo menganggap serius. Ia
pergi meninggalkan Flo dengan mencoba sekuat tenaga agar ia bisa berjalan
secara cepat. Seharusnya Dyo menyadari. Dia adalah seekor siput. Seekor siput
memang sudah ditakdirkan dan memang sudah kodratnya dia itu lambat. Flo hanya
diam, dan tak lama kemudian ia menyusul Dyo dengan berjalan tenang. Flo
mengerti dan sudah sangat paham akan sifat Dyo yang memang menyebalkan dan
terkadang memancing emosi.
Siput
Popo, Mami, Dyo dan Flo sudah berkumpul. Mereka sudah berunding dan sepakat
untuk mencari makanan masing-masing baru nanti dikumpulkan dan dimakan bersama.
Mereka mulai mencari makanan nanti pada saat hari mulai cerah, sekitar pukul 9
pagi.
Siput
Popo dan Mami sudah mempersiapkan peralatan untuk mencari makanan. Flo sedang
menyiapkan beberapa kantung untuk mewadahi makanan yang ia dapat nanti.
Sedangkan, Dyo dia hanya diam bermalas-malasan di luar jauh dari rumah. Yang
lain sedang sibuk bersiap karena hari telah mulai menjelang pukul 9, tapi Dyo
belum kembali ke rumah. Padahal Dyo ditugaskan mencari makanan bersama Flo.
Sedari tadi Flo menunggu Dyo.
“Kemana
Dyo? Apa dia belum kembali Flo?” tanya siput Mami pada Flo yang sedari tadi
sibuk melihat lihat sekitar seperti mencari sesuatu. Ya memang Flo sedang
mencari Dyo.
“Belum
siput Mami.” jawab Flo.
“Ya
sudah, siput Popo dan Mami pergi terlebih dahulu? Tak apa?” tanya siput Popo.
Popo lalu melirik Mami dan Flo bergantian.
“Ya.
Tak apa. Aku akan menunggu Dyo, kasihan dia nanti mencari-cari. Sebaiknya, ibu
siput Mami dan ayah siput Popo terlebih dahulu pergi mencari makanan, nanti
hari terlanjur siang. Aku tak apa” jawab Flo seadanya. Ya memang, Flo dewasa
dan bijak. Flo memikirkan dan mementingkan orang lain yang belum tentu orang
itu mementingkan dirinya juga.
“Ya
sudah. Hati-hati disini,” ucap siput Mami. Lalu siput Mami dan siput Popo
segera berangkat membawa peralatan dan perlengkapan yang sudah disiapkan. Flo
hanya membalas dengan senyuman. Flo tetap diam menunggu. Kemana Dyo? Itu yang
Flo pikirkan sedari tadi.
Setelah
lama Flo menunggu akhirnya Dyo datang. Sekarang sudah pukul 9 pagi lebih 15
menit. Itu tandanya Flo dan Dyo sudah tidak displin dalam melaksanakan tugas
yang mereka dapat. Pastinya Ibu siput Mami dan Ayah siput Popo sudah
banyak mendapat makanan. Sedangkan Flo dan Dyo belum satu pun. Flo segera mendekati
Dyo dan bertanya.
“Kau
dari mana Dyo? Aku sedari tadi menunggu” tanya Flo dengan raut wajah kesal.
“Aku?
Aku bermain dengan para monyet dan kura-kura” jawab Dyo santai tanpa memedulikan
raut wajah kesal kakaknya
“Ayolah!
Kita bergegas mencari makanan. Kau tak mau kelaparan bukan saat siang nanti?” tanya
sekaligus ajak Flo. Dyo mendengus kesal
“Kau
saja! Aku tak mau!” tolak Dyo sambil akan melangkah pergi lagi.
“Jangan
menghindar dari tugas Dyo! Apa kau mau Ibu Mami menghukumu agar kau mencari
makan tengah malam di hutan ini sendiri? Hiduplah dengan displin Dyo! Ayo ikut
kakak!” Flo terus memaksa. Bagaimana pun tugas tetaplah tugas. Bukannya apabila
tak mengerjakan tugas akan ada sanksi? Flo menganggap bahwa tugas adalah suatu
tanggung jawab juga. Oleh karena itu tugas itu harus dikerjakan.
“Iya.
Aku ikut! Kau menyebalkan” ucap Dyo pasrah. Bagaimana pun ucapan kakak nya
–Flo- ada benarnya juga.
Akhirnya
setelah perdebatan kecil tadi, Flo dan Dyo segera pergi mencari makanan.
Berkeliling hutan. Flo masih terus semangat mencari makanan sebanyak mungkin
agar ada persediaan untuk makan malam nanti. Tapi Dyo hanya berjalan saja mengikuti.
Sudah 2 jam mereka mencari makanan saatnya mereka pulang, namun...
“Kau
duluan saja kak! Aku ingin mencoba ke wilayah hutan buas” ucap Dyo sok jagoan.
“Untuk
apa kau pergi kesana?” tanya Flo. Flo sangat heran dengan kelakuan adiknya itu.
“Aku
ingin menantang mereka. Kenapa mereka sangat ditakuti? Hanya hewan biasa
seperti kita saja” jawab Dyo.
“Kau
tak boleh menyepelekan hewan lain seperti itu Dyo. Mereka sangat buas, mereka
bisa saja memakanmu hidup-hidup. Kau mau mati di tangan mereka? Kau tak kasihan
pada ibu Mami? Kau tak peduli dengan ayah Popo? Kau tak kasihan padaku Dyo?
Kalau kau mati di tangan mereka pasti aku sangat kehilanganmu begitu juga para
keluarga siput lain” jelas Flo. Flo tak akan membiarkan Dyo menuruti egonya.
Ego negatif nya, yang membuat ia merasa paling paling hebat dibanding para
hewan buas.
“Kau
tak usah banyak bicara kak! Tong kosong nyaring bunyinya. Banyak bicara tapi
tak ada hasilnya! Percuma kakak menjelaskan dan menasihatiku. Aku yakin mereka
tidak akan memakanku.” ucap Dyo si siput kemdian langsung pergi berbelok ke
arah wilayah hewan-hewan buas dan berbisa. Flo bingung, bagaimana dengan nasib
Dyo nanti, tapi, apabila Flo mengikuti Dyo, bagaimana dengan makanan yang sudah
dikumpulkan.
“Duh...
bagaimana ini?” ucap Flo berbicara pada dirinya sendiri.
“Ah
iya! Rumah monyet berada di dekat sini, bagaimana kalau aku titipkan saja
makanan ini pada monyet” ucap Flo. Lalu, Flo berjalan sedikit menuju rumah
monyet dan ia berkata titip makanannya sebentar, kalau bisa tolong antarkan
pada rumah siput.
“Baiklah
siput. Aku antarkan saja ke rumahmu. Hati-hati menyusul adikmu.” Ucap monyet.
Siput mengangguk. Siput Flo berjalan dengan tergesa-gesa dengan berusaha sekuat
tenaga untuk berjalan bahkan berlalri secara cepat. Demi adiknya si siput Dyo.
Siput
Flo telah sampai di perbatasan wilayah hewan buas. Flo melihat kanan kiri
mencari Dyo. “Ya ampun Dyo! Nekad sekali dia!” ucap si siput Flo kaget. Ia
melihat siput Dyo sedang mengganggu salah satu singa disana.
“Hey!
Kau singa! Jangan ganggu adikku!” ucap siput Flo lantang. Sontak singa menoleh
pada Flo. Menatap kilat tajam. Tapi nyali Flo tidak menjadi ciut. Singa masih
diam di tempat. Tapi, siput Dyo malah menghampiri Flo.
“Apa-apaan
kau ini? Datang datang mericuhkan saja!” bentak siput Dyo.
“Aku?
Aku hanya ingin menyelamatkanmu. Aku bertanggung jawab atasmu! Aku harus
melindungimu! Sadarlah Dyo Siput” ucap Flo siput tegas. Bagaimanapun Dyo Siput
tetaplah tanggung jawabnya. Apalagi saat ini Dyo sedang bersamanya.
“Alah!
Kau hanya ala …” ucapan Dyo Siput terpotong karena tiba-tiba Flo Siput
menubruknya hingga terpental jauh. Dan …
‘KHAAM’
Singa
melahap Flo siput. Dyo siput yang melihatnya sangat terkejut dan tidak
menyangka. Dyo siput segera pergi dari kawasan itu dan pulang ke rumahnya.
Segera memberi tahu orangtua dan keluarga siput lainnya.
Kakaknya.
Flo Siput. Kini ia telah tiada. Ini semua salah Dyo yang tak mau menurut dan lengah.
Ini salahku ini salahku! Dyo siput terus mengulang-ulang kata itu ia sungguh
merasa bersalah atas kelakuan dirinya sendiri.
Saat
Dyo siput sampai di rumahnya. Ia segera bercerita tentang itu semua. Keluarga
nya sangat kaget bahkan banyak yang terisak. Dyo siput hanya bisa diam
merenung.
“Ini
semua salahku maafkan aku. Aku menyesal. Aku berjanji akan menurut, disiplin
dan tak akan menyepelakan dan merendahkan hewan lain yang jelas lebih baik dan
kuat dari keluarga siput ku aku menyesal. Sungguh aku sangat menyesal.” Batin
Dyo siput. Kini tak ada lagi kakak yang cerewet menasihatinya. Tak ada lagi
yang mengatur ngrtur segala kegiatannya selan ibunya, tak ada lagi yang
megingatkan tentang kedisiplinan. Tak ada kakak nya telah pergi. Sungguh
mengenaskan. Pengorbanan seorang keluarga kakak siput. Untuk sang adik, demi
adiknya selamat ia rela berkorban. Bahkan nyawanya sendiri. Sungguh Flo siput
sangat baik hati, dan Dyo siput sangat beruntung mempunyai kakak seperti Flo
siput.
Analisis
Struktur Isi Teks
Orientasi
Terdapat
sebuah rumah kecil dari pepohonan. Rumah itu milik keluarga Siput. Ada Popo,
Mami, Flo, dan Dyo. Popo dan Mami adalah orang tua Flo dan Dyo. Rumah kecil ini
terletak di hutan. Bergabung dengan rumah-rumah hewan lain. Tentang wilayah,
jelas wilayah dibedakan karena mengingat jenis hewan itu bervariasi. Wilayah
untuk hewan buas dipisahkan dan dibatasi sangat jauh dari hewan-hewan lunak yang
mungkin akan menjadi buruannya. Sedangkan hewan herbivora, berdekatan dengan
wilayah hewan lunak. Hewan lunak seperti siput, semut, keong, kura-kura, dll.
Flo adalah anak
sulung. Maka Flo-lah yang harus sering mengalah. Sedangkan Dyo, dia adalah
siput bungsu. Sifatnya masih kekanakan dan sering tak mau mengalah, dan
pastinya Dyo selalu dipercaya dan dibela oleh siput Popo dan Mami.
Komplikasi
Akhirnya
setelah perdebatan kecil tadi, Flo dan Dyo segera pergi mencari makanan.
Berkeliling hutan. Flo masih terus semangat mencari makanan sebanyak mungkin
agar ada persediaan untuk makan malam nanti. Tapi Dyo hanya berjalan saja mengikuti.
Sudah 2 jam mereka mencari makanan saatnya mereka pulang, namun...
“Kau
duluan saja kak! Aku ingin mencoba ke wilayah hutan buas” ucap Dyo sok jagoan.
“Untuk
apa kau pergi kesana?” tanya Flo. Flo sangat heran dengan kelakuan adiknya itu.
“Aku
ingin menantang mereka. Kenapa mereka sangat ditakuti? Hanya hewan biasa
seperti kita saja” jawab Dyo.
“Kau
tak boleh menyepelekan hewan lain seperti itu Dyo. Mereka sangat buas, mereka
bisa saja memakanmu hidup-hidup. Kau mau mati di tangan mereka? Kau tak kasihan
pada ibu Mami? Kau tak peduli dengan ayah Popo? Kau tak kasihan padaku Dyo?
Kalau kau mati di tangan mereka pasti aku sangat kehilanganmu begitu juga para
keluarga siput lain” jelas Flo. Flo tak akan membiarkan Dyo menuruti egonya.
Ego negatif nya, yang membuat ia merasa paling paling hebat dibanding para
hewan buas.
“Kau
tak usah banyak bicara kak! Tong kosong nyaring bunyinya. Banyak bicara tapi
tak ada hasilnya! Percuma kakak menjelaskan dan menasihatiku. Aku yakin mereka
tidak akan memakanku.” ucap Dyo si siput kemdian langsung pergi berbelok ke
arah wilayah hewan-hewan buas dan berbisa. Flo bingung, bagaimana dengan nasib
Dyo nanti, tapi, apabila Flo mengikuti Dyo, bagaimana dengan makanan yang sudah
dikumpulkan.
Resolusi
Saat
Dyo siput sampai di rumahnya. Ia segera bercerita tentang itu semua. Keluarga
nya sangat kaget bahkan banyak yang terisak. Dyo siput hanya bisa diam merenung.
“Ini
semua salahku maafkan aku. Aku menyesal. Aku berjanji akan menurut, disiplin
dan tak akan menyepelakan dan merendahkan hewan lain yang jelas lebih baik dan
kuat dari keluarga siput ku aku menyesal. Sungguh aku sangat menyesal.” Batin
Dyo siput. Kini tak ada lagi kakak yang cerewet menasihatinya. Tak ada lagi
yang mengatur ngrtur segala kegiatannya selan ibunya, tak ada lagi yang
megingatkan tentang kedisiplinan. Tak ada kakak nya telah pergi. Sungguh
mengenaskan. Pengorbanan seorang keluarga kakak siput. Untuk sang adik, demi
adiknya selamat ia rela berkorban. Bahkan nyawanya sendiri. Sungguh Flo siput
sangat baik hati, dan Dyo siput sangat beruntung mempunyai kakak seperti Flo
siput.
TUGAS 3: RESENSI BUKU TERBARU
Judul : Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus
Penulis : K.H. Husein Muhammad
Penerbit : Noura Books Bandung
Tahun
Terbit : Cetakan I, Oktober 2015
Tebal : 179 Halaman
ISBN : 978-602-385-009-9
Cinta
itu Mendekatkan, Bukan Menjauhkan.
“Karena kedekatan beliau
berdua (Gus Mus dan Kiai Husein Muhammad) dengan Gus Dur, maka gambaran Gus Dur
yang muncul dalam percakapan pun terasa sangat riil sebagai sosok. Bukan Gus
Dur sang intelektual saja, bukan Gus Dur sang pemimpin saja, bukan Gus Dur sang
politisi saja, bukan Gus Dur sang kiai saja: tetapi lebih dari itu adalah Gus
Dur sang manusia dengan segala atribut yang melekat pada sosoknya”. Tulis
Alissa Wahid pada pengantar buku ini.
Raga KH. Abdurrahman
Wahid memang sudah lama pergi meninggalkan keluarga, para sahabat dan
orang-orang yang mencintainya. Namun pemikiran, sikap, pengalaman hingga
humornya akan senantiasa terus hidup dalam benak semua orang. Gus Dur, demikian
ia dipanggil, memag sosok nyentrik, langka dan tiada tanding. Beliau bukan
hanya seorang kiai yang pandai memintal dalil agama dengan aneka referensi dan
mantan pemimpin sebuah organisasi keagamaan terbesar di dunia saja, namun juga
sosok negarawan, budayawan, intelektual, pembela kaum minoritas, tokoh
pluralisme, hingga produsen berbagai lelucon yang selalu hadir disela
momen-momen genting sekalipun. Dengan keluasan ilmu, kedalaman pemahaman,
keberanian mengemulakan pendapat, serta hal-hal nyeleneh lain yang ia miliki, Gus Dur dianggap sebagai tokoh
liberalis, antek Yahudi bahkan kafir oleh sebagian orang yang gagal paham
dengan ide-ide dan sepak terjang beliau. Namun tidak sedikit masyarakat yang
menganggap Gus Dur sebagai seorang wali, sang kekasih Tuhan.
Buku berjudul Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus ini
bukanlah sebuah biografi mantan presiden RI ke-4 tersebut. Melainkan sebuah
buku yang berisi kisah-kisah Gus Dur yang dirangkum oleh KH. Husein Muhammad,
Penulis Buku Fiqh Perempuan dan pendiri Fahmina Institute
berdasarkan obrolannya dengan sahabat dekat Gus Dur sendiri yaitu KH. Musthofa
Bisri (Gus Mus). Sejatinya obrolan di antara keduanya (Gus Mus dan Buya Husein)
hanya berlangsung kurang lebih satu jam. Namun keindahan Gus Mus dalam
menuturkan cerita ditambah kemahiran Buya Husein dalam mengurainya menjadi
perspektif yang lebih luas, menjadikan buku ini bukan hanya menarik dari sisi
ceritanya saja, melainkan sebuah obrolan ringan antara dua tokoh ulama’ berbeda
generasi yang sarat makna. Dengan gaya penuturan santai, disertai cuplikan-cuplikan
kisah serupa, Pengasuh Pondok Pesantren Darr At-Tauhid Arjawinangun, Cirebon
ini menjadikan buku tersebut cocok dibaca saat senja bersama secangkir teh atau
kopi.
Pernah suatu waktu saat masih
di Mesir, Gus Dur tiba-tiba mengundang banyak temannya untuk pesat makan. Menu
khusus yang dimasak sendiri oleh Gus Dur adalah Sop Ceker dan Kepala Ayam.
Semua senang dan melahapnya hingga kenyang. Lalu Gus Mus terheran dan bertanya
bagaimana Gus dur mempeoleh ceker dan kepala ayam sebanyak itu?
Dengan gaya santainya Gus
Dur menjawab “Saya bilang ke penjual ayam, ‘minta ceker dan kepalanya, buat
kucing-kucing saya di rumah!’”.
Sejak itu, ceker dan
kepala ayam di pasar-pasar Mesir tidak lagi gratis.
Kedekatan antara Gus Dur
dengan Gus Mus juga nampak saat seminggu sebelum Gus Dur berpulang kepada sang
Khalik. Gus Dur secara khusus menyempatkan diri untuk mampir ke kediaman Gus
Mus di Rembang ditemani Ibu Nyai Sinta Nuriyah, sang istri. Padahal saat itu
kondisi kesehatan Gus Dur sedang kurang baik.
Sekitar tahun
1970-1980-an, Gus Dur diundang oleh Arief Budianto, sosiolog dan tokoh golput
termasyhur era Orde baru, untuk menjadi pembicara utama dalam perbincangan
ilmiah yang membahas tema seputar hubungan Islam dengan negara, kebangsaan, dan
demokrasi. Seperti biasa, Gus Dur tampil dengan pemikiran-pemikirannya yang
brilian. Sayangnya, uraian Gus Dur berakhir dengan kesimpulan yang tidak
memuaskan para peserta seminar.
Kebingungan yang
dipuncaki oleh sebuah pertanyaan penting kepada Gus Dur “Adakah konsep atau
sistem bentuk negara menurut islam?”. Ditodong dengan pertanyaan demikian, Gus
Dur bukannya bingung, malah dengan santai menjawab “Itu yang belum aku
rumsukan”. Buya Husein yang mendengar kisah tersebut dari Gus Mus kemudian
tertawa renyah sambil menyeruput kopi yang disuguhkan dan dibuat Gus Mus
sendiri.
Demikianlah, saat para
alim-arif berbicara, hal-hal sederhana yang terlontar selalu membawa kedalaman
makna dan pelajaran. Beliau berdua (Gus Mus dan Buya Husein) hanya bercerita
tentang Kiyai yang mereka idolakan, mereka tidak saling berlomba untuk
menunjukkan siapa yang terpintar, terpopuler dan ter- yang lain. barangkali
itulah pelajaran berharga yang kita dapat setelah membaca buku ini --selain
pelajaran yang dapat kita ambil dari sosok Gus Dur.
TUGAS 4: JURNAL REFLEKSI
JURNAL
REFLEKSI PERKULIAHAN
Selama 16 minggu
mengikuti perkuliahan ini, saya belajar banyak tentang perbedaan konsep antara
teks ilmiah dan nonilmiah, bagaimana cara membaca teks dengan teliti dan
cermat, serta belajar untuk mulai menyukai buku-buku informatif yang bagi saya
terkesan membosankan. Satu buku setiap minggu, menjawab pertanyaan, menulis
resensi, membuat artikel reflektif, dan beberapa tugas lain mau tidak mau
membuat saya terus mengasah kemampuan menulis saya. Resensi yang selama ini
saya anggap hanya sebatas rangkuman sebuah buku, ternyata memiliki unsur-unsur
yang harus dipenuhi dalam penulisannya sehingga menarik untuk dibaca. Saya
ingat betul, bagaimana Ibu Endah mengkritisi resensi buku The Jilbab Traveller karangan Asma Nadia yang saya tulis di depan
teman-teman satu kelas. Masih jauh dari sempurna memang. Tapi dengan begitu,
saya menjadi tahu dimana letak kekurangan resensi tersebut, dan berusaha
memperbaiki dengan tabel indikator yang diberikan Ibu Endah. Sejak saat itu
juga, saya menjadi lebih percaya diri untuk ikut serta dalam lomba menulis
resensi yang banyak digelar penulis-penulis kenamaan atau media percetakan
Indonesia.
Selain resensi, kemampuan
saya dalam membaca cepat dan cermat masih perlu terus dilatih. Kebanyakan dari
kita memang sangat pandai dalam menjawab pertanyaan yang bersifat literatif,
namun kurang teliti dalam menjawab pertanyaan yang sifatnya kritis. Meski
terlihat remeh, kemampuan ini tidak serta merta didapat seseorag kecuali dengan
latihan yang intensif dan berkelanjutan.
Di antara 10 buku yang
sudah saya baca, buku Reach Your Dreams karya
Wirda Mansur-lah yang paling menarik untuk saya ulas. Buku ini seolah memberi
hembusan semangat kepada pembacanya untuk giat dalam mensyi’arkan dan
menghafalkan Al-Qur’an. Hidup dalam lingkungan yang agamis, membuat saya tidak
asing lagi dengan keutamaan yang diperoleh oleh seorang penghafal Al-Qur’an.
Menurut saya, Wirda dalam buku tersebut hanya menekankan pada pengalaman
pribadinya tentang bagaimana meraih dunia dengan Al-Qur’an saja, adapun
teori-teori, dalil-dalil, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kajian
ilmiah yang membuktikan bahwa Al-Qur’an itu mukjizat agung bagi umat islam
hanya dikupas secara mendasar.
Memang, sejak kecil saya
sudah dipaksa orang tua saya untuk menghafal beberapa surat pendek dalam
Al-Qur’an. Hingga usia saya 15 tahun, Alhamdulillah
saya sudah hafal juz 30 (juz ‘amma) dan beberapa surat penting seperti
Al-Mulk, Al-Waqi’ah, As-Sajadah, Yasin, Al-Kahfi, dan Al-Jumu’ah. Namun saat
itu saya hanya menghafal karena takut dimarahi orang tua, atau karena tuntutan
di sekolah dan di pondok. Saya belum paham betul nilai plus yang akan diperoleh bagi para penjaga ayat-ayat suci tersebut.
Menginjak SMA, saya mulai
sedikit malas untuk menambah hafalan. Beban tugas sekolah yang semakin banyak
membuat waktu saya lebih banyak saya habiskan dengan rumus-rumus dan persamaan.
Setiap saya ditanya ibu sudah hafal surat apa bulan ini, saya hanya menjawab
dengan senyum lantas segera berlalu. Muroja’ah
hafalan juga sangat jarang saya lakukan. Padahal penting bagi seorang hafidz/hafidzah untuk mengulang-ulang
hafalan agar tidak lupa, berapapun ayat yang sudah dihafal. Puncaknya ketika
bulan Agustus 2016, saya diterima di UM dan mengharuskan saya untuk berpindah
‘’kewarganegaraan’ menjadi kera ngalam, saya
semakin menjauh dari benda kotak bersampul kulit sintesis tersebut. Tugas,
makalah, laporan, resensi, dan sejenisnya terasa lebih penting untuk segera
diselesaikan. Intensitas membaca pun mulai saya kurangi, yang sebelumnya saat
saya di rumah sehari minimal 5 kali membaca Al-Qur’an setiap selesai sholat,
kini hanya saya lakukan saat selesai sholat maghrib saja. Itupun tidak lebih
dari 5 lembar.
Hingga pada bulan Maret
2017, saat sedang “cuci mata” di Gramedia Book Store Malang, mata saya tertuju
pada sebuah buku bersampul hijau dengan cover gadis berjilbab membawa
Al-Qur’an. 3 hari kemudian saya sudah menyelesaikan membaca bagian akhir dan
merasa ada sesuatu yang sangat menyayat hati dan nurani saya saat itu.
Bagaimana tidak, seorang Wirda Mansur yang lebih muda dari saya, yang belajar
Al-Qur’annya baru kemarin sore, ternyata di usianya yang ke-15 (tahun 2015)
sudah wisuda tahfidz 30 juz dan dinobatkan sebagai Duta Al-Qur’an. Lah saya yang dari bayi dicekoki
ayat-ayat suci tersebut sampai usia 18 tahun saja masih mbulet saat disuruh hafalan surat Al-Kahfi. Belum lagi beberapa
surat lain yang mulai tidak betah tinggal di kepala saya. Ya Salam, maafkan hamba-Mu.
Sejak itu, sejak Bu Endah
menyuruh Offering B membaca 10 buku informatif dan secara tidak langsung
mengantarkan saya menemukan buku ini, saya menjadi lebih mawas diri. Saya
merasa terlalu sembrono untuk obsesi
menambah hafalan saja, tanpa peduli ayat-ayat yang lebih dulu menempel di
kepala ingin diulang agar tidak lupa. Wirda benar, tidak ada batasan usia untuk
bisa menghafal Al-Qur’an. Selama kita mau dan niat sungguh-sungguh, insha Allah, Allah akan memberi jalan
dan kemudahan. Jadikan Al-Qur’an sebagai penerang, maka Allah akan menerangkan.
Well, keajaiban mengikuti mata
kuliah Membaca Nonilmiah/Informatif tidak berhenti sampai disitu. Setelah
beberapa kali salah dalam menganalisis struktur isi teks, akhirnya kami
(terutama saya) mengerti perbedaan antara teks deskripsi dan teks LHO, yang
mungkin bagi sebagian orang masih sukar membedakannya. Saya juga belajar
tentang teks cerita seperti apa yang masuk kategori imajinatif futuristik. “Learning by Doing”, barangkali ungkapan
tersebut sangat cocok untuk menggambarkan metode belajar kita. Jika tidak
melakukan sendiri mencari teks, menganalisis struktur dan ciri bahasanya tanpa
diberi tahu teori sebelumnya, mungkin kita tidak akan paham. “Pengalaman adalah
guru terbaik”.
Terakhir, penulisan
jurnal refleksi perkuliahan ini mengharuskan saya untuk mengingat kembali
kenangan ‘menyakitkan’ itu dan menuangkannya dalam bentuk tulisan yang bisa
dinikmati bukan hanya diri saya sendiri, tapi juga mereka yang mau mengambil
manfaat dari sedikit yang kita berikan. Seberat dan sebanyak apapun tugas yang
diberikan dosen, yakinlah bahwa suatu saat kita akan merindukannya. Tuhan tidak
pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Yakin!


wahh, teks reflektif multimodanya menarik dan keren banget ukhty....
BalasHapusapalagi pas puisinya...
kisah inovatif dari seorang hafidzah muda, yang membuktikan bahwa wanita muslim dapat memiliki peran yang besar dan penting bagi kegemilangan Islam dan Al Qur'an, layaknya Siti Fatimah, putri dari Rosulullah SAW.
semoga kita bisa seperti muslimah-muslimah tangguh ini ya!!!!!!
AAMIIN
Komen yang bagus, lanjutkan memberikan komen ke teman-teman yang lain ya.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusPILIHAN BUKU INSPIRATIF, PUISI BAGUS, REFLEKSI YANG INDAH. EJAAN DAN TANDA BACA DICERMATI LAGI YA.
BalasHapusRefleksi yang indah, bahasa ekspresif. Teruslah membaca!!!
BalasHapus